Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI menjadi undang-undang menuai kekhawatiran publik. Banyak pihak menyuarakan dugaan kembalinya “Dwifungsi TNI” atau ABRI. Konsep ini, yang pernah diterapkan di masa Orde Baru, merujuk pada peran ganda militer dalam pertahanan dan sosial-politik. Kekhawatiran ini muncul karena sejumlah perubahan yang tercantum dalam UU baru.
Salah satu poin utama yang disoroti adalah perluasan daftar kementerian/lembaga. Jabatan sipil yang bisa diisi oleh prajurit aktif TNI kini lebih banyak. Hal ini memicu kekhawatiran akan intervensi militer dalam ranah sipil yang seharusnya dijalankan oleh warga sipil.
Sejarah mencatat, Dwifungsi TNI pada masa Orde Baru memberikan peran politik dan sosial yang luas kepada militer. Anggota ABRI bisa menduduki jabatan di pemerintahan, parlemen, hingga BUMN tanpa harus mengundurkan diri. Ini dinilai melemahkan supremasi sipil dan demokrasi.
Kekhawatiran utama adalah tergerusnya profesionalisme TNI. Jika prajurit aktif terlalu banyak mengisi jabatan sipil, fokus utama mereka pada pertahanan negara bisa terdistraksi. Hal ini berpotensi mengurangi kesiapsiagaan TNI dalam menjalankan tugas pokoknya.
Beberapa pihak juga khawatir akan potensi konflik kepentingan. Ketika militer terlibat dalam kebijakan sipil, ada risiko bias keputusan. Keputusan yang diambil mungkin tidak sepenuhnya berdasarkan kepentingan publik, melainkan kepentingan institusi atau individu militer tertentu.
Supremasi sipil, sebagai pilar demokrasi, bisa terancam. Dalam negara demokratis, kekuasaan sipil harus lebih tinggi dari militer. Peran militer seharusnya terbatas pada pertahanan dan keamanan, di bawah kendali penuh pemerintah sipil yang terpilih.
Meskipun ada bantahan dari pihak pemerintah bahwa dwifungsi tidak akan kembali, kerangka hukum baru ini tetap menimbulkan tanda tanya. Pengawasan ketat dari masyarakat sipil dan lembaga independen menjadi sangat penting untuk mencegah penyimpangan.
Kekhawatiran ini bukanlah tanpa dasar. Trauma masa lalu terkait praktik dwifungsi ABRI masih membekas di benak sebagian masyarakat. Oleh karena itu, transparansi dan akuntabilitas dalam implementasi UU baru ini sangat dibutuhkan untuk membangun kembali kepercayaan.
Penting bagi semua pihak untuk terus mengawal implementasi UU TNI yang baru disahkan. Memastikan bahwa semangat reformasi dan supremasi sipil tetap terjaga adalah tugas bersama. Jangan sampai ruang demokrasi yang sudah dibangun susah payah kembali terkikis.