Mahasiswa Difabel Mataram Soroti Isu Pendidikan dalam Dialog Publik

Di tengah sorotan publik terhadap isu-isu nasional, suara kelompok marjinal seringkali membawa perspektif yang sangat berharga. Salah satu contoh penting adalah ketika Mahasiswa Difabel Mataram mengambil panggung dalam sebuah dialog publik, secara khusus menyoroti berbagai isu krusial dalam pendidikan. Keberanian dan ketegasan Mahasiswa Difabel ini patut diapresiasi, karena mereka tidak hanya menyuarakan keluhan, tetapi juga mengajukan solusi dan tuntutan konkret demi terwujudnya pendidikan yang lebih inklusif. Artikel ini akan membahas poin-poin utama yang disoroti oleh Mahasiswa Difabel dari Mataram dalam kesempatan tersebut.

Para Mahasiswa Difabel Mataram memahami betul tantangan yang ada di lapangan. Mereka bukan hanya melihat dari kacamata teori, melainkan merasakan langsung hambatan-hambatan yang kerap terjadi di lingkungan pendidikan.

  • Aksesibilitas Fisik yang Masih Minim: Salah satu isu utama yang disoroti adalah kurangnya fasilitas fisik yang ramah disabilitas di banyak institusi pendidikan, mulai dari jenjang dasar hingga perguruan tinggi. Ini mencakup ketiadaan ramp untuk pengguna kursi roda, lift yang tidak berfungsi, toilet yang tidak standar, hingga desain ruangan yang sempit dan sulit dijangkau. “Bagaimana kami bisa belajar optimal jika untuk mencapai kelas saja sudah menjadi perjuangan?” mungkin menjadi pertanyaan retoris yang sering mereka rasakan.
  • Ketersediaan Materi Pembelajaran Adaptif: Selain hambatan fisik, Mahasiswa Difabel juga menyoroti minimnya materi pembelajaran yang disajikan dalam format adaptif. Misalnya, bagi mahasiswa tunanetra, ketersediaan buku Braille atau audiobook masih sangat terbatas. Demikian pula bagi mahasiswa tunarungu, ketiadaan juru bahasa isyarat yang profesional di kelas seringkali menjadi penghalang komunikasi. Mereka berharap ada standar baku dan alokasi anggaran khusus untuk pengadaan materi-materi ini.
  • Kualitas Tenaga Pendidik Inklusif: Isu lain yang tak kalah penting adalah kompetensi dosen atau guru dalam mengajar siswa/mahasiswa difabel. Masih banyak tenaga pendidik yang belum memiliki pemahaman atau keterampilan khusus untuk mengakomodasi kebutuhan belajar yang beragam. Pelatihan berkala dan kurikulum inklusif bagi calon guru/dosen menjadi salah satu tuntutan krusial.

Dialog publik tersebut bukan hanya ajang curhat, melainkan forum untuk menuntut komitmen konkret dari pembuat kebijakan. Mahasiswa Difabel Mataram berharap adanya langkah-langkah nyata dan terukur.

  • Pemetaan Kebutuhan yang Akurat: Mereka menyarankan agar pemerintah atau institusi pendidikan melakukan pemetaan kebutuhan disabilitas secara menyeluruh dan akurat di setiap jenjang pendidikan, sehingga intervensi dapat lebih tepat sasaran.
  • Alokasi Anggaran yang Transparan: Ketersediaan anggaran yang cukup dan transparan untuk program-program inklusif adalah kunci. Mereka menginginkan agar dana tidak hanya ada, tetapi juga jelas peruntukannya dan dapat diaudit. Contohnya, pada Rapat Kerja Nasional Pendidikan pada Maret 2025, perwakilan mahasiswa difabel mengusulkan pembentukan pos anggaran khusus untuk peningkatan aksesibilitas digital.
  • Pelibatan Aktif Komunitas Disabilitas: Penting bagi komunitas disabilitas untuk dilibatkan secara aktif dalam perumusan kebijakan, perencanaan, dan evaluasi program pendidikan inklusif. Suara dan pengalaman mereka adalah kunci untuk menciptakan solusi yang relevan dan efektif.

Apa yang disuarakan oleh Mahasiswa Difabel Mataram adalah panggilan untuk revolusi dalam pendidikan. Mereka ingin pendidikan di Indonesia benar-benar menjadi inklusif, di mana setiap individu, terlepas dari kondisi fisiknya, memiliki kesempatan yang sama untuk belajar, berkembang, dan berkontribusi penuh bagi bangsa.