Di era digital ini, seiring dengan kemudahan akses internet, muncul pula fenomena gelap bernama perundungan online atau cyberbullying. Bentuk kekerasan ini terjadi melalui platform digital, seperti media sosial, aplikasi pesan, atau game online, dan dapat meninggalkan luka emosional yang jauh lebih dalam bagi korbannya. Melindungi anak-anak dari ancaman dunia maya ini adalah tanggung jawab kolektif yang mendesak, mengingat dampaknya yang bisa merusak kesehatan mental dan fisik mereka.
Perundungan online dapat mengambil berbagai bentuk, mulai dari penyebaran rumor atau gosip yang memalukan, pengiriman pesan ancaman atau kebencian, doxing (membongkar informasi pribadi), hingga catfishing (menyamar sebagai orang lain untuk menjebak korban). Salah satu aspek paling berbahaya dari perundungan online adalah sifatnya yang tidak terbatas waktu dan ruang. Korban bisa di-bully kapan saja dan di mana saja, bahkan di dalam rumah sendiri, sehingga sulit untuk melarikan diri dari tekanan tersebut. Dampaknya bisa berupa kecemasan, depresi, isolasi sosial, penurunan prestasi akademik, hingga dalam kasus ekstrem, ide bunuh diri. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada awal tahun 2025 menunjukkan bahwa 3 dari 5 anak di Indonesia pernah mengalami atau menyaksikan cyberbullying.
Untuk melindungi anak dari perundungan online, edukasi adalah kunci utama. Orang tua perlu aktif berkomunikasi dengan anak-anak mereka tentang aktivitas daring, membangun kepercayaan agar anak mau terbuka jika mengalami masalah. Anak-anak juga perlu diajarkan literasi digital, yaitu kemampuan untuk berpikir kritis tentang informasi yang mereka terima, memahami privasi data, dan etika berinteraksi di dunia maya. Sekolah juga memiliki peran vital dalam menyelenggarakan program anti-bullying dan menyediakan saluran pelaporan yang aman bagi siswa. Pada 17 Mei 2025, sebuah sekolah menengah di Jakarta Selatan mengadakan workshop khusus tentang keamanan daring bagi siswa dan orang tua, bekerja sama dengan kepolisian siber.
Selain edukasi, peran platform digital juga penting dalam mengatasi perundungan online. Mereka harus memiliki mekanisme pelaporan yang mudah diakses dan responsif untuk menindak akun atau konten yang melanggar aturan. Regulasi yang lebih kuat dari pemerintah juga diperlukan untuk memastikan akuntabilitas platform dan memberikan perlindungan hukum bagi korban. Pihak kepolisian siber di Indonesia terus berupaya melacak dan menindak pelaku cyberbullying yang melanggar hukum, seperti kasus yang ditangani pada 3 Maret 2025, di mana seorang remaja berhasil diidentifikasi sebagai pelaku penyebaran konten meresahkan di media sosial.
Melindungi anak dari perundungan online adalah tanggung jawab bersama. Dengan pendekatan holistik yang melibatkan keluarga, sekolah, pemerintah, dan penyedia platform, kita dapat menciptakan ruang digital yang lebih aman dan positif bagi tumbuh kembang anak-anak Indonesia.