Pagelaran drama Jawa, seperti ketoprak, ludruk, atau wayang orang, menawarkan lebih dari sekadar tontonan artistik. Di dalamnya terkandung ranah pedagogis yang kaya, menjadikannya sarana ampuh dalam membangun keterampilan bahasa dan sastra, khususnya bahasa Jawa. Artikel ini akan mengupas bagaimana seni pertunjukan tradisional ini dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai media pembelajaran yang efektif.
Salah satu keunggulan utama dari ranah pedagogis pagelaran drama Jawa adalah kemampuannya memperkenalkan dan melestarikan kekayaan bahasa Jawa, baik dari segi kosa kata, tata bahasa, hingga tingkat tutur (unggah-ungguh basa). Melalui dialog-dialog yang disajikan, penonton secara tidak langsung terpapar pada penggunaan bahasa Jawa yang bervariasi, mulai dari ragam ngoko, madya, hingga krama inggil. Hal ini sangat bermanfaat bagi penutur muda yang mungkin jarang menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari.
Lebih lanjut, pagelaran drama Jawa juga menjadi laboratorium hidup untuk pembelajaran sastra. Lakon-lakon yang dipentaskan seringkali merupakan adaptasi dari cerita-cerita pewayangan atau legenda lokal yang memiliki nilai sastra tinggi. Penonton dapat memahami struktur naratif, karakterisasi tokoh, dan tema-tema universal yang terkandung dalam cerita tersebut. Sebagai contoh, pada pagelaran ketoprak “Ande-Ande Lumut” oleh Sanggar Seni Mekar Budaya di Gedung Kesenian Cak Durasim, Surabaya, pada hari Sabtu, 15 Juli 2023, pukul 19.00 WIB, para pemain dengan piawai membawakan dialog-dialog sarat perumpamaan dan sindiran halus, yang merupakan ciri khas sastra Jawa. Acara tersebut dihadiri oleh 450 penonton, dengan pengamanan oleh empat petugas dari Polsek Genteng untuk menjaga kelancaran acara.
Selain itu, ranah pedagogis juga mencakup aspek pemahaman budaya yang mendalam. Keterampilan bahasa tidak bisa dipisahkan dari konteks budayanya. Melalui drama Jawa, penonton diajak menyelami filosofi hidup Jawa, adat istiadat, dan nilai-nilai luhur yang terefleksi dalam setiap adegan. Ini membantu memperkaya pemahaman interkultural dan menumbuhkan apresiasi terhadap warisan budaya sendiri. Misalnya, penggunaan properti dan kostum dalam pertunjukan seringkali memiliki makna simbolis yang perlu dipahami untuk menginterpretasikan cerita secara utuh.
Untuk memaksimalkan ranah pedagogis ini, kolaborasi antara seniman, lembaga pendidikan, dan pemerintah sangat dibutuhkan. Program-program edukasi seperti workshop drama Jawa untuk siswa, pelatihan guru dalam mengintegrasikan seni pertunjukan ke dalam kurikulum, atau bahkan membuat adaptasi digital dari pagelaran untuk platform daring, dapat memperluas jangkauan dan dampak positifnya. Dengan demikian, drama Jawa tidak hanya menjadi aset budaya, tetapi juga alat yang berharga dalam membangun keterampilan bahasa dan sastra generasi mendatang.